Rabu, 03 Agustus 2011

Perlunya Mempersenyawakan Nilai Tradisional dan Modalitas Modern

Kita perlu memahami koperasi merupakan semangat, jiwa dan modalitas perjuangan suatu kaum untuk mengubah nasibnya. Budaya ini biasa dinamakan dalam bahasa Indonesia: gotong royong. Budaya gotong royong ini merupakan budaya yang sudah mentradisi dalam seluruh masyarakat Indonesia, dalam setiap suku-suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Budaya gotong royong inilah modal dasar untuk melahirkan, membangun, memelihara dan membesarkan suatu institusi ekonomi modern yang bernafaskan dan bersemangat nilai-nilai gotong royong itu. Koperasi adalah institusi gotong royong modern.

Perlu juga difahami bahwa membangun koperasi itu merupakan investasi, yang secara prinsip ia memiliki ciri-ciri kapital seperti bendungan air lengkap dengan jaringan irigasinya. Sebagai kapital ia memiliki ciri depresiasi, joint impact good (apakah dibuat untuk melayani satu orang atau 10.000 orang biaya investasinya sama saja). Sebagai institusi baru yang sebelumnya tidak ada dalam lingkungan masyarakat maka ia dengan sendirinya menjadi bagian yang belum banyak dipahami oleh anggotanya, pengurusnya, manajemennya dan juga oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu perlu dicari cara yang paling mudah dan paling cepat agar institusi baru yang dinamakan koperasi itu bukan hanya menyatu dengan jiwa dan batin masyarakat, juga menjadi institusi yang menjadi solusi ekonomi bagi para anggotanya dan bagi masyarakat luas pada umumnya.

Sesuatu yang sudah mentradisi biasanya sudah tidak dipertanyakan atau dibahas lagi, misalnya kebiasaan kita makan nasi tiga kali sehari. Demikian pun dengan menabung atau iuran anggota, apabila sudah mentradisi maka ia berjalan dengan sendirinya. Di antara tradisi-tradisi tersebut terdapat nilai-nilai ekonomi yang bisa dibangkitkan menjadi suatu institusi formal koperasi. Perasaan senasib-sepenanggungan juga merupakan modal sosial yang bisa dijadikan dasar mendirikan koperasi. Rabobank, misalnya, merupakan bank koperasi yang didirikan oleh koperasi-koperasi pertanian di Belanda karena kecewa dengan perbankan saat itu, dasar ideologinya agama Kristen Katolik dan Protestan. Banyak contohnya bahwa koperasi yang berhasil itu koperasi yang landasannya sudah hidup dalam masyarakat dimana ia dilahirkan.

Usaha perikanan di Selandia Baru, untuk masyarakat lokal Maori, dapat juga dijadikan kasus bagaimana tradisi atau adat istiadat masyarakat tradisional diangkat menjadi sumbu yang menyalakan dan menghidupkan koperasi perikanan Maori dan perlindungan negara kepadanya. Sederhananya, hukum adat dijadikan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi perikanan Maori, tentu ditambah-kurangi sesuai dengan persyaratan nilai-nilai koperasi dan hal-hal lain yang diperlukan. Kelebihan utamanya dengan pendekatan kasus Maori tersebut adalah anggota, pengurus, dan masyarakat adat sudah otomatis memahaminya, walaupun mereka, misalnya tidak mampu membaca atau menulis.

Semua ikhtiar mengubah nasib suatu kaum biasanya didorong oleh keinginan melepaskan diri dari ketertindasan, kemiskinan, kebodohan dan kesulitan-kesulitan hidup lainnya. Para pahlawan dan pendiri Republik kita ini telah memberikan Indonesia sebagai rumah kita dimana kita diberikan Gerbang Emas menuju cita-cita kemerdekaan itu. Ibarat para budak di Amerika Serikat dibebaskan oleh Abraham Lincoln sehingga Obama bisa menjadi Presiden Amerika Serikat sekarang, maka koperasi juga dilahirkan oleh para pendiri Republik Indonesia untuk rakyat dan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Karena itu Negara sangat menentukan sukses-tidaknya koperasi. Ibarat Pemerintah Inggris memberikan treaty perikanan laut kepada Bangsa Maoiri, ibarat pemerintah Belanda mendukung Rabobank, maka Pemerintah Indonesia juga perlu mencari modalitas yang tepat untuk koperasi Indonesia